Tanggung jawab terhadap perasaan sendiri menjauhkan diri dari mental korban

Siapa yang nggak pernah merasa jadi korban?
Disakiti, dikhianati, disalahpahami. Kita semua pasti pernah.  
Tapi yang membedakan, adalah bagaimana kita merespon.

Salah satu kunci hidup sehat secara mental dan emosional  adalah mengurangi mental korban.

Apa itu mental korban?
Ini bukan berarti kita benar-benar salah, ya.  
Tapi soal terus-menerus merasa dunia nggak adil, semua salah orang lain, dan kita berhak menyimpan luka selamanya.

Padahal... luka boleh kita rawat, tapi jangan kita pelihara.
Lalu, gimana caranya keluar dari pola ini? Kuncinya ada di tangan kita: mengambil alih kendali atas respon. Dalam setiap kejadian, kita selalu punya dua pilihan bijak:

📌 Introspeksi Diri: Melihat ke dalam, mengenali peran kita (jika ada), memperbaiki diri, dan tumbuh dari pengalaman.  
📌 Menerima dengan Ikhlas: Bukan pasrah atau kalah, tapi mengakui realita yang terjadi tanpa menyangkalnya. Fokus pada hal yang bisa kita kendalikan: diri sendiri dan langkah selanjutnya. Menerima membebaskan energi untuk hal yang lebih produktif.

Dua sikap ini adalah jalan menuju kedewasaan sejati.

Malam ini saya pernah membaca dan mau berbagi sedikit.  

Dalam Islam, Rasulullah ï·º bersabda:
"Orang kuat bukanlah yang menang dalam gulat, tetapi orang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya saat marah." (HR. Bukhari dan Muslim)  
Ini mengingatkan saya: kekuatan sejati bukan tentang membalas atau mengeluh, tapi tentang mengelola respon kita — tanpa menyalahkan dunia.

📖 Dalam buku The Subtle Art of Not Giving a F\*ck karya Mark Manson, ada kalimat :  
“You are always responsible for how you feel, no matter what someone else did to you.”
Artinya, kita memang nggak bisa mengontrol segalanya, tapi tanggung jawab atas perasaan dan tanggapan kita, tetap di pundak sendiri. Menyalahkan terus-menerus cuma bikin kita mandek, nggak maju-maju.

Tapi gini ya…  
Kadang kita protes dalam hati:  
“Kan mereka yang nyakitin saya, bukan saya yang mulai!”
“Saya cuma jujur kok!”
Dan perasaan itu valid, lho. Tapi kalau kita terus terjebak dalam peran korban, menyalahkan tanpa henti, pengen dimengerti tapi nggak mau mengerti... ujung-ujungnya kita sendiri yang capek dan terpenjara.

Suatu hari, seorang kenalan lama pernah bilang:  
“Aku nggak nyangka kamu nggak punya orang buat didendam.”
Saya cuma senyum. Karena saya memilih untuk tidak larut. Bahkan saat sakit hati datang, jika reaksiku kelepasan, justru rasa bersalah yang kemudian menggerogoti lebih dalam dari sakit hatinya sendiri. 

🪞 Makanya saya jatuh cinta pada kata-kata Umar bin Khattab ra.: 
“Aku tidak menyesali diamku. Tapi aku sering menyesali kata-kataku.”
Jujur, setiap kali saya memaksakan diri untuk "membela diri" atau "klarifikasi habis-habisan", ujungnya  malah malu sendiri. Rasanya nggak sepadan.

Memilih untuk tidak terlibat bukan berarti saya nggak peduli atau kalah.  
Ini adalah strategi menjaga kewarasan dan kedamaian batin.

Jadi, kalau hari ini kamu merasa diperlakukan nggak adil,  
atau gemas pengen klarifikasi sampai tuntas,  
coba tanyakan ke hati paling dalam:

> “Saya melakukan ini karena ingin damai? Atau sekadar ingin menang dan membuktikan saya benar?”

Kalau yang kau cari adalah ketenangan...
Maka jalan terbaik seringkali sederhana:  

> Diam. Maafkan. Lepaskan. 

---

Komentar

Postingan Populer